Selama ini Anda tentunya mengenal cara bercocok tanam padi pada umumnya yang dilakukan para petani di sawah. Namun lain halnya dengan cara menanam padi secara bergotong royong di ladang atau disebut nugal yang biasa dilakukan oleh masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Acara menugal ini membutuhkan proses yang cukup panjang karena harus diawali dengan penebangan pohon-pohon besar,serta pembakaran lahan untuk pembersihan sisa-sisa tebangan pohon. Sisa-sisa pembakaran diyakini bisa sebagai pupuk alami untuk tanaman padi yang akan ditanam.
Sekitar 2 minggu setelah lahan disiapkan, masyarakat secara bergotong royong memulai menugal. Alat yang digunakan berupa tongkat panjang sekitar 2 meter yang biasanya terbuat dari kayu ulin yang sangat kuat, berdiameter sekitar 3-4 cm dengan ujung meruncing. Tongkat ini digunakan untuk melubangi tanah yang akan digunakan menanam padi. Masyarakat berderet-deret melobangi tanah, sementara di belakangnya menyusul beberapa orang yang memasukkan bulir padi ke dalam lobang. Setiap lobang akan diisi sekitar 4 sampai 5 bulir padi.
Pengairan penanaman padi ini hanya tergantung pada air hujan, tidak seperti lazimnya di persawahan yang dilengkapi dengan pengairan atau irigasi. Cara penanaman dengan cara seperti ini dikenal dengan nama sawah tadah hujan atau gogo rancah. Tanaman padi diberlakukan seperti tanaman palawija dengan kebutuhan air yang sangat minim. Keunggulan sistem budidaya gogo rancah adalah hemat waktu tanam dan pemeliharaan, namun kekurangannya adalah hasilnya tidak sebesar dengan sistem tanam sawah.
Menariknya dari budaya menugal ini, di saat waktu istirahat, masyakat beramai-ramai duduk dan bersama-sama menikmati nasi ketan dengan ikan asin yang sangat berasa nikmatnya ketika dilakukan bersama-sama setelah lelah bekerja.
Uniknya lagi, hasil lahan tersebut kelak jika panen tidak akan dijual, namun hanya dikonsumsi untuk kebutuhan keluarga saja.