SEJARAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT
Menyusuri jejak-jejak sejarah Kerajaan Kotawaringin, terlebih dahulu harus mengetahui Kerajaan Banjar. Karena keturunan Raja Banjarlah yang mula pertama membangun Kerajaan Kotawaringin. Dengan kata lain bahwa Daerah Kerajaan Kotawaringin adalah di bawah kekuasaan Banjar pada mulanya. Sultan Musta’inubillah Raja Kerajaan Banjar berputera empat orang dan seorang putri masing-masing bernama:
- Pangeran Adipati Tuha, Dialah yang menjadi Raja di Kerajaan Banjar bergelar Sultan Inayatullah.
- Pangeran Adipati Anom
- Pangeran Antasari (Pahlawan Nasional)
- Pangeran Adipati Antakusuma
- Putri Ratu Ayu
Karena masing-masing putra mahkota berminat untuk menjadi sultan memegang tampuk pimpinan kerajaan, membuat sang ayah harus berpikir bijaksana. Putra mahkota yang berminat untuk menjadi sultan, sedangkan dia bukan seorang putra tertua, maka diputuskan agar mencari wilayah baru untuk mendirikan kerajaan sendiri.Pangeran Adipati Antakusuma yang memiliki keberanian dan semangat yang tinggi untuk menjadi seorang pimpinan, telah bertekad untuk pergi meninggalkan Kerajaan Banjar dengan tujuan ke arah barat untuk mencari tempat dimana akan didirikan kerajaan baru.Dengan restu Ramanda dan Ibunda serta pejabat-pejabat Kerajaan Banjar, Pangeran Adipati Antakusuma beserta sejumlah pengawal dan beberapa perangkat peralatan kerajaan dengan perahu layar bertolak menuju arah barat. Dalam perjalanan banyak tempat yang disinggahi antara lain Teluk Sebangau, Pagatan Mendawai, Sampit, dan Pembuang. Diriwayatkan bahwa tempat-tempat yang disinggahi mempunyai cerita sendiri.Pada saat singgah di Teluk Sebangau, setelah beberapa hari berada disitu, terasa masih terlalu dekat, seakan masih terdengar hiruk pikuk Kerajaan Banjar atau menurut bahasa Banjar Ingauan Banjar masih kedengaran, sehingga akhirnya diputuskan untuk meninggalkan tempat tersebut dan akhirnya tempat tersebut disebut Sebangau.
Dalam perjalanan selanjutnya bahtera Pangeran Adipati singgah di Pagatan Mendawai. Di tempat inipun Pangeran Adipati dan rombongan merasa kurang yakin akan kondisi alam sekitarnya untuk dijadikan tempat untuk mendirikan kerajaan. Karena merasa kurang yakin (dalam bahasa Banjar Hawai) maka daerah ini diberi nama Mendawai. Begitu pula saat singgah di muara Sungai Sampit, karena dengan terasa sempit dantidak cocok untuk mendirikan kerajaan, maka ditinggalkan lagi dan akhirnya tempat tersebut diberi nama Sampit.Bahtera Panggeran Adipati berlayar terus meninggalkan arah barat dan akhirnya singgah di Kuala Pembuang.Pada saat itu ada masyarakat di sana, tetapi kehadiran Pangeran Adipati Antakuskuma dan rombongan bermaksud untuk mendirikan kerajaan baru ditolak oleh masyarakat disana, karena mereka masih suka dipimpin oleh Kerajaan Banjar.Dengan semangat tinggi tanpa putus asa rombongan berusaha melanjutkan perjalanan, kali ini tidak lagi menyusuri pantai, tetapi menuju ke hulu sungai yang akhirnya tiba di suatu desa yang bernama Desa Pandau.Masyarakat Suku Dayak yang sudah lama berada di Desa Pandau berada di bawah kepemimpinan demang Petinggi di Umpang akhirnya menerima kehadiran rombongan Pangeran Adipati Antakusuma.Demang Petinggi sebagai Kepala Suku Dayak, Anom menyerukan kepada rakyatnya agar menerima rombongan Pangeran Adipati Antakusuma ini yang mana akan dijadikan raja dari rakyat Dayak dengan syarat raja harus memperlakukan kita bukan sebagai hamba, tetapi sebagai pembantu utama dan kawan yang terdekat atau sebagai saudara yang baik. Rakyat tidak akan meyembah sujud kehadapan Pangeran Adipati Antakusuma. Usulan ditimbang dan diterima baik oleh Pangeran dan seluruh rombongannya.
Dari pihak Suku Dayak Arut, mengusulkan agar perjanjian ini bukan sekedar di bibir saja, melainkan harus bermaterai darah manusia yang diambil seorang dari Suku Dayak Arut dan seorang dari Pangeran Adipati Antakusuma. Sukar diterima oleh pikiran manusia hanya untuk sebuah janji saja, tetapi karena adat mendesak, maka masing-masing menarik salah seorang diantara kedua rombongan untuk dijadikan korban perjanjian.Kedua calon korban ini tidak pernah menyangkal, malahan mereka merasa bangga karena terpilih sebagai korban. Mereka menganggap kesatria dan pahlawan bangsa. Dengan rela mereka dijadikan korban perjanjian setia antara kedua suku yang saling mengikat rasa kekeluargaan. Sebelum kedua calon korban ini berdiri siap untuk dikorbankan, mereka mengadopsi sebuah batu yang harus ditancapkan ke tanah sebagai bukti turun temurun saksi sepanjang masa. Dengan melakukan upacara adat yang khidmat kedua calon korban berdiri di samping batu saksi, yang sekarang terkenal dengan nama “BATU BETAHAN” di Pandau daerah Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat Propinsi Kalimantan Tengah.Calon korban dari pihak Suku Dayak berdiri menghadap ke hulu asal datangnya dan seorang calon korban dari rombongan Pangeran Adipati Antakusuma berdiri menghadap hilir menunjukan asal kedatangannya. Dengan sikap satria, kedua calon korban ini menunggu saat akhir hidupnya dengan sabar menanti sampai selesai upacara perjanjian antara kedua belah pihak.Setelah selesai upacara sumpah setia, Kepala Suku Dayak Arut mencabut mandaunya dan ditusukkan menembus ke dada korbannya dan darahpun mengucur deras. Korban dari rombongan Pangeran ditusuk pula sehingga kedua darah korban ini memancur bersilang dan menetes jatuh menjadi satu membasahi tanah. Percampuran darah secara langsung dan disaksikan seluruh rakyat kedua belah pihak inilah yang dimaksud untuk mempersatukan segala rasa dan pikiran dalam segala rencana bersama. Perjanjian ini selanjunya dinamai “PANTI DARAH JANJI SAMAYA” yang berarti perjanjian ysng dikokohkan dengan tetesan darah yang menjadi satu. Kasultanan Kutaringin yang diperintah oleh Pangeran Adipati Anta Kusuma sejak 1679. dalam masa pemerintahannya Pangeran Adipati Antakusuma mengangkat Kyai Gede menjadi Perdana Menteri Kerajaan Kotawaringin. Untuk Pertama kalinya Keraton Kesultanan dibangun di Kotawaringin Lama dengan nama Astana Alnusari selanjutnya pada tahun 1814 Keraton Kesultanan dipindahkan ke Pangkalan Bun sebagai pusat pemerintahan yang disebut dengan Keraton Kuning atau Indra Kencana.
Setelah Proklamasi kemerdekaan RI maka wilayah Kesultanan Kotawaringin menjadi bagian wilayah negara RI, dengan status Swapraja / Kwedanan dan selanjuntnya berkembang menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin Barat sebagai Daerah Otonom Pangkalan Bun sebagai ibu kota Kabupaten.
SEJARAH PEMERINTAHAN
Sejak pengakuan kedaulatan oleh Belanda tanggal 27 Desember 1949 dengan berdasarkan UU nomor 22 tahun 1949 lahirlah Kabupaten Kotawaringin dengan ibu kota Sampit dan dikepalai oleh Bupati Kepala Daerah yang pada waktu itu bernama TJILIK RIWUT.Sedangkan daerah Swapraja Kotawaringin Barat hanya setingkat dengan Kewedanan dengan ibu kota Pangkalan Bun yang termasuk dalam daerah kekuasaan Wedana / Wakil Kepala Daerah yang pada waktu itu bernama BASRI.Daerah Swapraja Kotawaringin terbagi atas beberapa kecamatan dan dikepalai oleh seorang camat (dahulu assisten Wedana atau Kyai).
- Kecamatan Arut Selatan, Ibu kotanya Pangkalan Bun
- Kecamatan Kumai, Ibu kotanya Kumai
- Kecamatan Sukamara, Ibu kotanya Sukamara
- Kecamatan Bulik, Ibu kotanya Nanga Bulik
Lembaga eksekutif yakni Dewan Perwakilan Rakyat mengenai daerah sementara (DPRDS) Kabupaten Kotawaringin berkedudukan di Sampit, oleh karena daerah ini adalah merupakan sebagian dari daerah Kabupaten Kotawaringin maka untuk wakil-wakil rakyat dari daerah ini yang duduk di lembaga tersebut dilakukan pemilihan dan diambil oleh partai/organisasi yang ada yaitu:
- M. Abdullah Mahmud
- Ahmad Said
- Dahlan Abbas
- M. Sahloel
- Gusti M. Sanusi
- Djanuri
- Ismail
Mengenai M. Sahloel karena sesuatu hal tidak dapat hadir sehingga akhirnya digantikan oleh Azhar Mukhtas. Kepala Daerah Swapraja Kotawaringin berturut-turut adalah:
- Basri, BA
- Gusti Ahmad
- M. Saleh
- Abdul Muis
- Rojani
- Syukur
- C. Mihing (Bupati KDH Tingkat II Ketua Barat yang Ke-I)
Setelah berjalan beberapa tahun lamanya daerah ini berada di dalam lingkungan Kabupaten Kotawaringin Barat atas dasar kemauan rakyat yang disalurkan melalui partai-partai/ organisasi agar Daerah Swapraja Kotawaringin/ Kawedanan Pangkalan Bun memisahkan diri dari Kabupaten Kotawaringin dan penghapusan Swapraja menjadi suatu daerah kabupaten yang berdiri sendiri. Kemauan/tuntutan ini melalui wakil-wakilnya yang duduk di DPRDS diperjuangkan dalam sidangnya yang pertama tahun 1955 dengan mengajukan suatu mosi tertanggal 21 Juni 1955 yang ditandatangani oleh:
- Dahlan Abbas
- M. Abdullah Mahmud
- Azhar Mukhtas
- Ahmad Said
- Djanuri
- Gusti M. Sanusi
Mosi tersebut oleh sidang DPRDS dapat disetujui dan dikuatkan dengan keputusan DPRDS Kabupaten Kotawaringin yang merupakan suatu resolusi tertanggal Sampit, 30 Juni 1955 yang disampaikan kepada:
- Menteri Dalam Negeri di Jakarta
- Gubernur / Kepala Daerah Propinsi Kalimantan Selatan di Banjarmasin
- Residen Kalimantan Selatan di Banjarmasin
- Bupati / Kepala Daerah Kotawaringin di Sampit
Dengan keputusan DPRDS Kabupaten Kotawaringin tersebut setelah sampai di Pemerintah Pusat, kemudian datanglah utusan dari Parlemen Pusat di Pangkalan Bun untuk meninjau atau melihat dari dekat keadaan daerah dan masyarakat, terutama tentang keinginan yang menjiwai mosi tersebut di atas apakah memang benar-benar datang dari masyarakat, oleh Pemerintah Pusat dikeluarkan UU No. 27 tahun 1959 tentang pembagian Daerah Tingkat II Kotawaringin menjadi dua daerah atas pembentukan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur dengan ibu kota Sampit dan Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat dengan ibu kota Pangkalan Bun, yang pada waktu itu sudah berada dalam lingkungan daerah Propinsi Kalimantan Tengah.Demikian asal-muasal atau peristiwa-peristiwa yang terjadi sampai dengan lainnya Kabupaten Kotawaringin Barat yang diresmikan oleh Gubernur TJILIK RIWUT yang bertindak atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia pada tanggal 3 Oktober 1959 jam 09.15 di Balai Sembaga Mas Pangkalan Bun dalam suatu upacara resmi dengan C. MIHING sebagai Bupati Kepala Daerah yang pertama dan sebagai aparat pemerintah yang ditugaskan guna menyambut lahirnya daerah ini menjadi Daerah Kabupaten Tk. II Kotawaringin Barat. Kabupaten Kotawaringin terbentuk berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. UP.34/41/42 tanggal 28 Desember 1959 dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Des.52/12/2-206 tentang pembagian kabupaten, yaitu Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Kotawaringin Barat. Dengan usianya yang menanjak dewasa itu wajarlah jika kabupaten ini memiliki tingkat kematangan. Sentuhan pembangunan selama PJP – I telah enjadikan daerah ini sejajar dengan daerah kabupaten lainnya baik pada level Kalimantan Tengah maupun level daerah lain di Kalimantan. Kabupaten Kotawaringin Barat setelah diadakannya pemekaran Kabupaten berdasarkan UU No. 5 Tahun 2002 saat ini memiliki luas wilayah sebesar 10.075.900 Km2 atau sekitar 6,2 % luas propinsi Kalimantan Tengah, terdiri dari 6 Kecamatan dan 72 desa dan 13 kelurahan. Kecamatan tersebut meliputi:
- Kecamatan Arut Selatan
- Kecamatan Kumai
- Kecamatan Arut Utara
- Kecamatan Kotawaringin Lama
- Kecamatan Pangkalan Lada
- Kecamatan Pangkalan Banteng